Senin, 10 Agustus 2015

Kebudayaan Lokal Nusantara

Kebudayaan Lokal : Pengertian, Konsep, Ciri-ciri, Contoh, Macam-macam



Dari manakah kamu berasal? Setiap daerah tentu mempunyai kebudayaan sendiri. Jika berasal dari daerah Jawa, kamu mengenal beberapa tarian, lagu daerah, pakaian daerah, bahasa daerah, dan lain-lain dari daerah kamu berasal. Namun, ternyata daerah Jawa juga memiliki kekayaan budaya yang berbeda. Coba perhatikan, daerah Yogyakarta dan Surakarta adalah dua daerah yang saling berdekatan. Namun, memiliki motif kain yang berbeda. Motif kain gaya Surakarta memiliki latar warna cokelat, sedangkan motif kain gaya Yogyakarta memiliki motif dengan latar kain berwarna putih. Hal tersebut dikarenakan keduanya melalui proses pembuatan yang berbeda. Kain gaya Surakarta sebelum dibatik, diketel terlebih dahulu hingga kain memiliki latar warna cokelat. Sementara itu, kain yang bergaya Yogyakarta dikemplong terlebih dahulu. Dikemplong adalah proses yang dilakukan sebelum dibatik. Kain mori dipukul-pukul terlebih dahulu dengan palu yang terbuat dari kayu, setelah itu pola digambar dengan menggunakan pensil, dan dilanjutkan dengan pembatikan dengan menggunakan malam (lilin). Begitu pun juga dengan Bali yang mempunyai kekhasan kain baik sendiri.
Batik Parang Kusumo Yogyakarta
Gambar 1. Batik Parang Kusumo Yogyakarta (thebatik.net)
Batik Solo Motif Sido Drajad
Gambar 2. Batik Solo Motif Sido Drajad (thebatik.net)
Dari ilustrasi tersebut dapat kamu bedakan bahwa daerah-daerah di Indonesia memiliki kekayaan budaya yang beragam. Berkaitan dengan hal tersebut, sudahkah kamu tahu tentang budaya lokal?

1. Pengertian Budaya Lokal

Budaya lokal adalah nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Budaya lokal dapat berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat. Indonesia terdiri atas 33 provinsi, karena itu memiliki banyak kekayaan budaya. Kekayaan budaya tersebut dapat menjadi aset negara yang bermanfaat untuk memperkenalkan Indonesia ke dunia luar, salah satu di antaranya adalah Candi Borobudur.

Referensi Antropologi :


Arca Buddha dan stupa Borobudur
Gambar 3. Arca Buddha dan stupa Borobudur. (Wikimedia Commons)
Kamadhatu melambangkan kaki. Hal ini adalah representasi dari dunia yang penuh dengan kama atau nafsu (keinginan) manusia. Rupadhatu melambangkan dunia yang masih terikat dengan rupa dan bentuk meskipun tidak mampu melepaskan dari hawa nafsu. Dunia ini adalah ”alam antara” yang membatasi Kamadhatu ’alam bawah’ dengan Rupadhatu ’alam atas’. Sementara itu, Arupadhatu melambangkan tempat bersemayamnya para Buddha yang berada di alam atas. Pada alam tersebut kebebasan akan hawa dunia yang masih mementingkan bentuk dan rupa telah tercapai. Kebebasan tersebut dilambangkan dengan tidak adanya relief sebagai tempat lenyapnya nafsu dunia. Relief ada jika disambung dapat mencapai panjang 2.900 m (hampir mencapai 3 km) dengan 1.460 adegan dan relief dekoratif (hiasan) sebanyak 1.212 buah. Candi Borobudur memiliki 505 buah arca. Itulah salah satu dari 7 keajaiban dunia. (Sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Adat pernikahan secara tradisional adalah salah satu bentuk budaya lokal pula. Oleh karena itu, jika ada sepasang pengantin yang berasal dari daerah yang berlainan, seringkali mengenakan busana tradisional pernikahan bergantian sesuai dengan busana daerah masing-masing mempelai. Demikian pula acara tradisi upacara pernikahan diadakan dua kali, disesuaikan dengan upacara adat masing-masing mempelai.

Bentuk lain dari budaya lokal adalah tarian tradisional. Tarian tradisional di Indonesia awalnya dipertunjukkan untuk peristiwa tertentu seperti panen, kelahiran, pemakaman, dan pernikahan. Saat ini tradisi tersebut ada yang mengalami pergeseran, tarian dipertunjukkan untuk acara komersial. Namun demikian, hal tersebut dapat menjadi salah satu sarana untuk melestarikan budaya lokal, bahkan untuk memperkenalkan budaya lokal ke tingkat yang lebih halus.

Bahasa daerah juga salah satu bentuk budaya lokal. Istilah-istilah yang berasal dari bahasa daerah sesungguhnya dapat menjadi suatu kontrol sosial bagi masyarakatnya. Hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya di dalam buku ini.

Bentuk budaya lokal yang lain adalah mitos. Mitos adalah suatu cerita suci berupa simbol yang mengisahkan peristiwa nyata atau imajiner mengenai perubahan alam dan asal usul jagat raya, dewa-dewi, atau kepahlawanan seseorang.

Beberapa bentuk budaya lokal lain di antaranya adalah pakaian tradisional, folklor, musik tradisional, olahraga tradisional, permainan anak tradisional, kerajinan tangan, dan lain-lain. Menurut James Danandjaja (dalam Sulastrin Sutrisno, 1985:460), folklor adalah sebagian kebudayaan Indonesia yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun secara tradisional. Tradisi ini bisa berbeda-beda versinya baik dalam bentuk lisan, perbuatan, maupun alat-alat pembantu pengingat. Kebudayaan Indonesia yang berbentuk folklor memiliki ciri-ciri khusus antara lain sebagai berikut: bersifat lisan, bersifat tradisional, versinya berbeda-beda, cenderung mempunyai bentuk berumus atau berpola, tidak diketahui siapa penciptanya, mempunyai fungsi dalam kehidupan kolektif yang memilikinya, berifat pralogis, menjadi hak milik bersama, dan bersifat polos atau spontan.

Secara garis besar folklor dikelompokkan menjadi tiga antara lain sebagai berikut (dikutip dari James Danandjaya, 1984).

a. Folklor Lisan

Yang tergabung ke dalam folklor lisan antara lain sebagai berikut.

1) Bahasa rakyat seperti logat, julukan, gelar, bahasa rahasia, dan sebagainya.
2) Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan sebagainya.
3) Pertanyaan tradisional seperti teka-teki, cangkriman, dan sebagainya.
4) Puisi rakyat seperti pantun, syair, bidal, pemeo, dan lain-lain.
5) Cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dongeng, dan sebagainya.
6) Nyanyian rakyat

b. Folklor Sebagian Lisan

Yang tergabung dalam folklor sebagian lisan antara lain sebagai berikut.

1) Kepercayaan atau takhayul
2) Permainan dan hiburan rakyat
3) Teater rakyat seperti wayang orang (Jawa Tengah), ludruk (Jawa Timur), lenong (Jakarta), arja (Bali)
4) Adat kebiasaan seperti khitanan, gotong royong, dan lain-lain.
5) Upacara-upacara yang dilaksanakan dalam siklus hidup manusia
6) Tari rakyat seperti Srimpi (Jawa Tengah), tari Tor-tor (Batak), tari doger (Jakarta).
7) Pesta rakyat seperti selamatan

c. Folklor Bukan Lisan

Folklor bukan lisan lain sebagai berikut.

1) Arsitektur seperti bentuk rumah adat dan lumbung padi
2) Hasil kerajinan rakyat seperti batik, patung, keris
3) Pakaian dan perhiasan seperti pakaian adat
4) Obat-obatan rakyat seperti jamu tradisional
5) Makanan dan minuman tradisional seperti rendang Padang, gudeg Yogyakarta
6) Alat musik tradisional seperti angklung, gamelan
7) Peralatan dan senjata seperti alat-alat rumah tangga, senjata untuk berburu
8) Mainan seperti boneka, alat musik, dan lain-lain.

Dalam sebuah folklor biasanya terkandung nilai, petuah, nasihat, dan pelajaran yang bisa dijadikan cermin bagi orang yang membaca atau mendengarnya. Agar lebih jelas silakan kamu baca contoh folklor berikut ini.

Nyi Pohaci

Alkisah Nyi Pohaci terlahir dari sebutir telur yang berasal dari air mata Dewa Naga Anta. Dewa Naga Anta menangis karena dimarahi oleh Batara Narada. Sesungguhnya Dewa Naga Anta ingin membantu pembangunan istananya Dewa Guruingin, namun karena Dewa Naga Anta tidak memiliki tangan, maka tidak dapat dilakukannya. Tiga tetas air mata Naga Anta menjelma menjadi tiga butir telur dan digigitnya perlahan untuk dibawa kepada Dewa Guru.

Dalam perjalanan, ia tidak menjawab sapaan Elang karena mulutnya penuh dengan telur. Karena tidak menjawab sapaan, Elang lalu menyambar Naga Anta sehingga dua telur terjatuh ke bumi menjelma menjadi dua ekor babi hutan yang bernama Kakabuat dan Budug Basu. Sebutir telur yang selamat akhirnya sampai ke hadapan Dewa Guru dan diperintahkannya Naga Anta untuk mengerami telur tersebut. Setelah menetas, muncullah seorang bayi cantik yang diberi nama Nyi Pohaci. Bayi yang cantik tersebut akhirnya disusui oleh Dewi Umah; istri Dewa Guru. Setelah Nyi Pohaci beranjak dewasa, Dewa Guru berniat menyuntingnya. Namun, Nyi Pohaci jatuh sakit dan wafat. Nyi Pohaci dimakamkan di bumi. Dari makamnya muncul beraneka tanaman yang dibutuhkan masyarakat Sunda. Kepala Nyi Pohaci menjelma menjadi pohon kelapa, mata kanannya menjadi padi putih, mata kiri menjadi padi merah, hatinya menjadi ketan, paha kanan menjadi bambu aur, paha kiri menjadi bambu tali, betisnya menjadi pohon enau, ususnya menjadi akar tunjang, dan rambutnya menjadi rerumputan.

Sayangnya, Kalabuat dan Budug Basu sering merusak tanaman-tanaman tersebut. Untuk menjaga tanaman-tanaman tersebut, Yang Maha Wenang menciptakan Jaka Sadana (Sulanjana), Sri Sadana, dan Rambut Sadana yang berasal dari tiga tetes air mata Yang Maha Wenang. Selain itu, untuk memperbanyak tanaman-tanaman tersebut di Kerajaan Pajajaran, Dewa Guru juga memerintah Batara Semar. (Sumber: www.mail-archive.com)

Pada awal pembentukan disiplin antropologi di Indonesia, para ahli etnografi berusaha untuk mendeskripsikan berbagai macam kebudayaan yang tersebar luas di tanah air. Penelitian tersebut ditulis dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karangan Koentjaraningrat yang berisi esai atau kumpulan tulisan mengenai laporan etnografi kebudayaan suku bangsa di Indonesia.

1. Konsep Budaya Lokal


Budaya lokal biasanya didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Akan tetapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.

Menurut Geertz (1981) dalam bukunya Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, di Indonesia saat ini terdapat lebih 300 dari suku bangsa yang berbicara dalam 250 bahasa yang berbeda dan memiliki karakteristik budaya lokal yang berbeda pula. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan iklim yang berbeda-beda. Misalnya, wilayah pesisir pantai Jawa yang beriklim tropis hingga wilayah pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua yang bersalju. Perbedaan iklim dan kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap kemajemukan budaya lokal di Indonesia.

Pada saat nenek moyang bangsa Indonesia datang secara bergelombang dari daerah Cina Selatan sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, keadaan geografis Indonesia yang luas tersebut telah memaksa nenek moyang bangsa Indonesia untuk menetap di daerah yang terpisah satu sama lain. Isolasi geografis tersebut mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang hidup terisolasi dari suku bangsa lainnya. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh menjadi kelompok masyarakat yang disatukan oleh ikatan-ikatan emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu kelompok masyarakat tersendiri. Selanjutnya, kelompok suku bangsa tersebut mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama dengan didukung oleh suatu kepercayaan yang berbentuk mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.

Kemajemukan budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan adat istiadat dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Timor, Bali, Sasak, Papua, dan Maluku memiliki adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Keadaan geografis yang terisolir menyebabkan penduduk setiap pulau mengembangkan pola hidup dan adat istiadat yang berbeda-beda. Misalnya, perbedaan bahasa dan adat istiadat antara suku bangsa Gayo-Alas di daerah pegunungan Gayo-Alas dengan penduduk suku bangsa Aceh yang tinggal di pesisir pantai Aceh.

Menurut Soekmono (1998) dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, masyarakat awal pada zaman praaksara yang datang pertama kali di Kepulauan Indonesia adalah ras Austroloid sekitar 20.000 tahun yang lalu. Selanjutnya, disusul kedatangan ras Melanosoid Negroid sekitar 10.000 tahun lalu. Ras yang datang terakhir ke Indonesia adalah ras Melayu Mongoloid sekitar 2500 tahun SM pada zaman Neolithikum dan Logam. Ras Austroloid kemudian bermigrasi ke Australia dan sisanya hidup di di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Ras Melanesia Mongoloid berkembang di Maluku dan Papua, sedangkan ras Melayu Mongoloid menyebar di Indonesia bagian barat. Ras-ras tersebut tersebar dan membentuk berbagai suku bangsa di Indonesia. Kondisi tersebut juga mendorong terjadinya kemajemukan budaya lokal berbagai suku bangsa di Indonesia.

Menurut James J. Fox, di Indonesia terdapat sekitar 250 bahasa daerah, daerah hukum adat, aneka ragam kebiasaan, dan adat istiadat. Namun, semua bahasa daerah dan dialek itu sesungguhnya berasal dari sumber yang sama, yaitu bahasa dan budaya Melayu Austronesia. Di antara suku bangsa Indonesia yang banyak jumlahnya itu memiliki dasar persamaan sebagai berikut.

a. Asas-asas yang sama dalam bentuk persekutuan masyarakat, seperti bentuk rumah dan adat perkawinan.
b. Asas-asas persamaan dalam hukum adat.
c. Persamaan kehidupan sosial yang berdasarkan asas kekeluargaan.
d. Asas-asas yang sama atas hak milik tanah.

2. Ciri Budaya Lokal


Ciri-ciri budaya lokal dapat dikenali dalam bentuk kelembagaan sosial yang dimiliki oleh suatu suku bangsa. Kelembagaan sosial merupakan ikatan sosial bersama di antara anggota masyarakat yang mengoordinasikan tindakan sosial bersama antara anggota masyarakat. Lembaga sosial memiliki orientasi perilaku sosial ke dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dengan orientasi untuk memenuhi kebutuhan anggota lembaga sosial tersebut. Dalam lembaga sosial, hubungan sosial di antara anggotanya sangat bersifat pribadi dan didasari oleh loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin dan gengsi sosial yang dimiliki. Bentuk kelembagaan sosial tersebut dapat dijumpai dalam sistem gotong royong di Jawa dan di dalam sistem banjar atau ikatan adat di Bali. Gotong royong merupakan ikatan hubungan tolong-menolong di antara masyarakat desa. Di daerah pedesaan pola hubungan gotong royong dapat terwujud dalam banyak aspek kehidupan. Kerja bakti, bersih desa, dan panen bersama merupakan beberapa contoh dari aktivitas gotong royong yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di daerah pedesaan. Di dalam masyarakat Jawa, kebiasaan gotong royong terbagi dalam berbagai macam bentuk. Bentuk itu di antaranya berkaitan dengan upacara siklus hidup manusia, seperti perkawinan, kematian, dan panen yang dikemas dalam bentuk selamatan.

Tokoh Antropologi :

Clifford Geertz
Clifford Geertz
Clifford Geertz (ccs.research.yale.edu)
Clifford Geertz, seorang antropolog dari Amerika Serikat yang banyak menulis mengenai kebudayaan Bali dan Jawa menguraikan gambaran acara selamatan dalam masyarakat Jawa dalam karya monumentalnya The Religion of Java (Abangan, Santri, dan Priyayi). Karya ini memberikan gambaran bahwa salah satu aspek dari kebudayaan masyarakat Jawa yang tak lekang dimakan usia adalah budaya selamatan. Sampai sekarang, kita masih bisa menemukan acara selamatan meskipun dalam kemasan yang berbeda di daerah perkotaan dan pedesaan. Karyanya mengenai kebudayaan Bali yang begitu detail dan kaya akan data lapangan serta interpretasi yang mengagumkan ditulis dalam buku NEGARA The Theatre State in Nineteenth Century Bali (Negara Teater: Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Sembilan Belas).

Di dalam masyarakat Jawa, pelaksanaan selamatan ada yang dilakukan secara individual ataupun secara kolektif. Tujuannya adalah untuk memperkuat ikatan sosial masyarakat yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial tertentu. Misalnya, keraton Yogyakarta dan Surakarta adalah kelompok masyarakat yang paling sering melakukan ritual selamatan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, seperti gerebeg, sedekah bumi, upacara apeman, dan gunungan yang masih dilaksanakan sampai sekarang.

Di daerah Bali, beberapa bentuk kebudayaan lokal masih dilaksanakan sampai saat ini. Misalnya, mebanten atau membuat sesaji setiap hari sebanyak tiga kali oleh masyarakat Bali sebagai perwujudan rasa syukur, hormat, dan penyembahan kepada Tuhan. Konsep kepercayaan masyarakat Bali yang menjadi budaya adalah adat untuk melilitkan kain berwarna hitam dan putih pada batang pohon yang besar, tiang, dan bangunan di setiap daerah di Pulau Bali. Selain itu, contoh budaya lokal adalah upacara Ngaben yang saat ini menjadi tontonan para wisatawan yang datang ke Bali.

Ngaben adalah upacara tradisi membakar jenazah orang yang sudah meninggal sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal. Salah satu aktivitas masyarakat Bali yang diikat oleh prinsip kebudayaan lokal adalah sistem pengairan di Bali yang disebut Subak. Subak adalah salah satu bentuk gotong royong atau sistem pengelolaan air untuk mengairi lahan persawahan berbentuk organisasi yang anggotanya diikat oleh pura subak. Di dalam sistem subak terdapat pembagian kerja berdasarkan hak dan kewajiban sebagai anggota subak. Oleh karena itu, apabila ada warga yang tidak menjadi anggota maka ia tidak berhak atas jatah air untuk mengairi sawahnya dan mengurus pura serta bebas dari semua kewajiban di sawah dan pura.

Budaya lokal di Indonesia mempunyai berbagai perbedaan. Suku-suku bangsa yang sudah banyak bergaul dengan masyarakat luar dan bersentuhan dengan budaya modern, seperti suku Jawa, Minangkabau, Batak, Aceh, dan Bugis memiliki budaya lokal yang berbeda dengan suku bangsa yang masih tertutup atau terisolasi seperti suku Dayak di pedalaman Kalimantan atau suku bangsa Wana di Sulawesi Tengah. Perbedaan budaya tersebut bisa menimbulkan konflik sosial akibat adanya perbedaan perilaku yang dilandasi nilai-nilai budaya yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan konsep budaya yang mengandung nilai kebersamaan, saling menghormati, toleransi, dan solidaritas antar warga masyarakat yang hidup dalam komunitas yang sama. Misalnya, para mahasiswa yang tinggal di rumah indekos di Yogyakarta. Para mahasiswa tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Perbedaan budaya tersebut bisa menimbulkan konflik sosial dalam kehidupan sehari-hari apabila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan rasa toleransi dan saling menghormati antar penghuni rumah indekos. Sikap toleransi antar penghuni rumah indekos tersebut akan muncul apabila didasari prinsip relativisme budaya yang memandang bahwa setiap kebudayaan tersebut berbeda dan unik serta tidak ada nilai-nilai budaya suatu kelompok yang dianggap lebih baik atau buruk dibanding kelompok lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar